Rabu, 05 November 2008

Hampir Sebuah Kisah Cinta

Perlahan mata kaki perempuan itu menyelinap keluar dari lembar selimut. Permukaan kulitnya yang kuning langsat seolah memantulkan cahaya lampu kamar. Sedemikian kontras warna kaki itu dengan selembar selimut coklat yang menyelimutinya. Halus serupa kulit bayi, ditambah warna eksotik biru muda pada kuku-kuku jarinya.

Mungkin dia tak akan pernah berada di sini, jika aku tak menemukannya di lantai dansa. Atau mungkin juga, semestinya dia tak berada di sini seperti halnya ia tak seharusnya berada di lantai dansa tadi malam. Ruang yang penuh kehampaan di tengah hiruk pikuk orang berbincang dan hingar musik yang menyumpal telinga.

Aku masih iangat saat mendapati tubuhnya serupa pualam memucat, berbalut sebuah tank top warna putih dan celana jeans pendek sedemikian ketat. Kaki jenjangnya terlekat sebuah sepatu kulit yang tingginya hampir sampai lutut. Perempuan itu tergeletak dengan rambut panjangnya menutupi hampir separuh wajah. Harusnya dia tak berada di situ, terkapar di sudut lantai dansa seperti seekor kucing tanpa seorang pun peduli. Perempuan itu terlalu jelita untuk terkapar tak berdaya. Dan belakangan, aku mengenalnya sebagai Fara, seorang perempuan yang bisa dibeli dengan lima ratus ribu untuk menemani malam.

Kupikir perempuan seperti dia tak selayanya berada di dunia sekeras ini. Lihatlah bagaimana matanya terpejam seperti kanak-kanak yang lelah bermain. Perempuan ini serupa malaikat yang kehilangan sayap. Aku memandangi pundaknya yang telanjang seperti pegunungan salju menantang para petualang untuk berseluncur. Aku menduga-duga adakah sayap di punggungnya yang halus itu? Barangkali tak pernah aku temukan sayap itu di punggungnya. Tapi aku menemukan simbol lain di bawah pusarnya yang tak kalah menggoda imajinasiku untuk menelusuri. Aku memerhatikan lekuk tubuh itu, lalu membenarkan letak selimut dan merapatkan pada pundaknya. Sesaat kulihat seberkas cahaya dari jendela memantul di wajahnya yang jelita.

*****

Kami berpandangan. Mata kami saling mengabarkan kesunyian masing-masing. Dia duduk di kursi sebelah meja, dan aku duduk di ranjang empuk menyandarkan punggung pada dinding kamar hotel. Jika aku tak salah menghitung, ini adalah kali yang ketigapuluh dia mengecaniku. Dan masih seperti sebelumnya, dia tidak melakukan apa-apa.

Kupikir dia cukup jantan. Tubuhnya berotot dan atletis seperti menjanjikan kehebatan dalam bercinta. Matanya senantiasa bersinar setiap kali memandangiku. Tapi, aku tak mengerti bagaimana sepasang mata yang menatap tajam itu serngkal berangsur meredup setiap kali aku membalas tatapannya. Dia hanya menyunggingkan senyum pada rahang wajahnya yang tegas. Dan menurutku, barangkali senyum itu adalah sebuah ajakan agar aku segera memulai mencumbunya, dan melakukan pekerjaanku.

Tapi aku salah. Ketika aku beringsut dari ranjang untuk menghampirinya, ia malah merapatkan jari telunjuk ke bibirnya. “Ssst…, tidurlah,” bisiknya dengan tatapan mata lembut, seolah ada pendar mercu suar di sana menerangi temaram malam-malamku. Seorang lelaki yang aneh. Tak seperti tamu atau pelanggan lain, yang selalu saja terburu-buru untuk segera menerkam tubuhku. Tapi, lelaku ini dengan ketenangannya sungguh menumbuhkan belukar pertanyaan dalam benakku.

“Mengapa selalu kau sia-siakan waktumu hanya untuk memandangiku?” ucapku sembari menyentuhkan wajah di permukaan bantal. Kami saling berpandang. Lalu aku menatap lelaki tersebut bangkit dari kursi menuju jendela.

“Apakah kau ingin tahu?”
“Ya. Tentu saja ingin tahu, mengapa kau mau membuang waktumu dengan menyia-nyiakan lima ratus ribu hanya untuk memandangi perempuan yang tak berarti sepertiku?” aku menimpali. Mungkin kalimatku terkesan sinis, karena barangkali aku sudah mulai bosan dengan kebiasaannya.

“Fara,” bibir lelaki tersebut mengeja namaku. “Bukan maksudku mau berbagi nasib. Nasib adalah kesunyian masing-masing. Ini kulakukan karena kau jelita, dan hidupmu sia-sia seperti hidupku,” lanjutnya. Aku memandangi tato di lengannya bergambar lidah api saat ia menyalakan sebatang rokok dan memandang ke luar jendela.

“Kupikir hidupmu bertambah sia-sia malam ini, membuang waktumu dan berapa juta rupiah telah kau hamburkan hanya untuk seorang yang kau tak mengenalnya.”
“Apakah kau pikir itu sia-sia?”
“Tentu saja. Lalu apa pula maksudmu selalu membawaku di hotel ini, kamar yang sama di lantai tiga, di mana kau hanya memandangi aku atau jendela dan lampu di luar sana?”

Dia mengalihkan pandangan dari jendela ke wajahku yang tengadah di atas bantal. Ditandaskan rokoknya ke dalam asbak dan perlahan menghampiri ranjang tempatku berbaring.

“Aku sekedar mengingat kenangan di sini, di kamar ini saat kubawa kau pertama kali setelah menemukanmu tergeletak over dosis di diskotik itu, apakah kau masih ingat?” dia berbalik bertanya sembari duduk di tepi ranjang.

Sebuah kilasan kejadian yang tak begitu jelas melintas di benakku. Yang masih kuingat, aku pernah terjaga di kamar ini dengan tubuh lunglai dan melihat dia duduk di kursi itu memandangiku. Tentu saja, aku tak ingat apakah dia meniduriku sebelumnya atau hanya menungguku hingga terjaga. Kalau hanya untuk menjagaku, mungkin hanya lelaki bodoh yang mau menyia-nyiakan waktunya untuk memedulikan hidupku yang sampah. Dan kupikir dialah salah satu lelaki bodoh itu.

Seingatku, selama tiga hari ia merwatku di kamar ini. Menyuapiku ketika tubuhku masih lemah. Membasuh punggungku dengan air hangat dan matanya sesekali memandangi tato di bawah pusarku bergambar sebuah simbol kartu Queen-jantung hati. Sungguh, dia tak melakukan apa-apa selain merawatku. Kami masing-masing pun tak banyak bercakap waktu itu. Lalu kami berpisah. Dan aku kembali ke rumah bordil tempat aku bekerja.

Sejak peristiwa tersebut, dia sesekali meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah bordil dan memesanku. Membawaku pergi hanya untuk menikmati makan malan atau menginap di hotel ini, tanpa aku harus melakukan apa-apa. Seringkali ia hanya duduk di kursi memandangiku tertidur, sambil membuat sketsa tubuhku yang nyaris telanjang pada selembar kertas. Barangkali memang sedikit aneh lelaki satu ini.

Malam telah menggenakan gaunnya berwarna gelap. Ya, mungkin ini ketigapuluh kali ia membawaku menginap di kamar hotel. Aku perlahan mengenali dirinya secara pribadi. Dia pernah berkata, ia menolongku di diskotik itu hanya karena sebuah pertanda. Kupikir itu sebuah pemikiran yang bodoh, bahwa ia menolongku hanya karena melihat sebuah tanda yang kubuat di bawah pusarku. Seingatku, aku memakai tank top putih berbahan rajut kesukaanku. Aku merasa lebih seksi memakai baju itu yang sangat jelas bisa memperlihatkan tato di bawah pusarku. Dan entak dari mana ia mendapat sebuah keyakinan yang aneh untuk dirinya sendiri, ketika dia menatap simbol Queen-jantung hati yang terlukis di bawah pusarku. Barangkali itu adalah semacam pertanda jawaban bagi pencariannya, begitu pengakuannya. Ah, gombal sekali.

Sungguh gombal. Betapa tidak gombal, jika ia meyakini aku adalah pencariannya hanya karena kami mempunyai kesamaan tentang simbol tato jantung hati. Ia memiliki sebuah tato bergambar kartu King-jantung hari di antara ornamen lidah api dan sulur-sulur penuh warna yang melingkari lengannya. Sedangkan aku memiliki sebuah tato bersimbol Queen-jantung hati di bawah pusarku. Dia bilang, King dan Queen adalah pasangan yang menurutnya telah digariskan untuk bersama. Aku tertawa atas pendapatnya yang konyol itu!

Queen-jantung hati. Menurutnya, itu merupakan simbol yang merepresentasikan diriku sebagai ratu-jantung hati bagi sesiapa yang bisa menangkap makna itu dan menobatkanku sebagai ratu di hatinya. Sebuah pemikiran yang ngawur dan gombal nampaknya. Tapi cukup mendekati sebuah kebenaran pemaknaanku akan simbol yang kubuat di bawah pusarku. Dia juga memiliki daya pemaknaan yang cukup mendalam terhadap sesuatu rupanya. Dan karena tato di bawah pusarku itulah ia suka berlama-lama memandangiku. Dia berkata itu adalah sebuah keindahan yang tak kalah eksotis dengan langit senja ketika matahari akan terbenam!

Aku perlahan mengenalnya setelah perbincangan kami selama ini. Berbincang sembari rebah di ranjang memandang langit-langit kamar, ataupun duduk bersebelahan sambil menatap lampu-lampu kota dari jendela. Dia tak pernah melakukan apapun selain memandangiku, maksudnya, tak seperti lelaki hidung belang yang selam ini mengencaniku yan gselalu tergopoh oleh nafsu begitu melihat kemulusan ketiakku.

Berbeda dengan lelaki ini, paling-paling ia sesekali menyentuk lenganku yang halus dengan punggung jarinya, atau membiarkan wajahnya tenggelam dalam keharuman rambutku. Dan satu lagi yang paling dia suka adalah menyentuh kelembutan kulit di sekitar pusarku, seperti kali ini. Perlahan dia menyingkap baju shifon tanpa lengan bermotif bunga yang kukenakan, agar sepenuhnya dapat melihat selingkar pusarku. Belahan dadaku yang sedikit menyembul dari balik baju berleher rendah malah tak begitu menggodanya. Kurasakan tangannya yang kokoh justru menjelajahi simbol Queen-jantung hati tepat di bawah pusar. Aku hanya rebah di atas ranjang menikmati sentuhannya. Ada sebuah sensasi luar biasa yang berdesir di dadaku setiap kali ia melakukan kebiasaan tersebut.

“Bolehkah jika suatu hari kutanamkan benih di rahimmu dan menjadikanmu ibu bagi generasi kita?” ucapnya di tepi ranjang sembari menatap kedua mataku yang menjadi sayu. Nampaknya serius sekali ucapan tadi. Aku hanya tertawa kecil.

“Lelaki mana yang mau menanamkan benih di tubuh seorang pelacur dan menjadikannya ibu bagi generasinya?” sergahku menanggapi kalimatnya.

Sontak, tanpa kuduga dia mengambil lenganku, lalu mendekapku erat dan memandang kedua mataku begitu dalam. Sangat dalam. Sungguh, aku seolah memandang sebuah tata surya baru di kedalaman matanya.

“Malam ini akan menjadi malam terakhir buatmu, Fara,” ucapnya.
“Maksudmu,” aku mengernyitkan dahi.
“Aku telah memutuskan malam ini adalah malam terakhir bagimu.”
“Kau menakutiku? Kau akan membunuhku, atau kau akan meninggalkanku?” aku bertanya seperti aku bertanya pada negara. Setelah ini, apa yang bisa membuat kami hidup lebih baik? Hidup bagiku sudah tak banyak maknanya selain kehampaan-kehampaan yang luar biasa setiap malam. Jikapun lelaki ini ternyata memang seorang pembunuh bayaran seperti yang ia pernah ceritakan, mungkin dengan dibunuh olehnya pun aku tak mempermasalahkan. Karena aku sebenarnya telah mati jika tanpa pertolongannya waktu itu, dan aku sesungguhnya telah berkali-kali mati oleh hidup yang bengis ini.

Tiba-tiba, sebuah perasaan menyelinap, berkubang harap dan cemas menunggu sebuah keputusan dari mulut lelaki bermata elang ini. Aku tak pernah menyadari sebelumnya, bagaimana rasa ini tiba-tiba menelusup. Mungkin karena aku sudah mulai terbiasa dengan keteduhan matanya, sentuhannya yang tulus, dan dekapannya yang mendamaikan.

“Sudah semestinya kita takut ketika berjalan sendirian di tengah bengis peradaban kota yang semakin banyak memproduksi manusia seperti kita, dan menjadikan hidup hanya menunda kekalahan,” jawabnya setelah beberapa saat terdiam.

Aku tak menyangka, jika di balik kegarangan penampilannya tersimpan sebuah penalaran yang beradab. Kadang nurani seseorang memang tak bisa diukur dari penampilan. Aku sendiri juga bertanya dalam hati, mengapa kota tempat aku mengadu nasib ini justru menjadi seperti neraka bagi kami para urban. Kebijakan negara seolah tak pernah memberi solusi bagi mahluk yang termarjinalkan. Ah, tahu apa aku tentang kebijakan negara. Kami dimanjakan sekaligus terjebak oleh caru marut situasi. Dunia yang serba instan dan menghalalkan segala hal agar tetap hidup. Aku tak pernah tahu, entah bagaimana cara negara menyusun peradabannya yang hanya menghasilkan residu manusia-manusia seperti aku dan lelaki ini. Jujur, sebenarnya aku tak paham sepenuhnya kalimat yang ia ucapkan tadi. Tapi aku akan menyimpannya dalam hati

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


“Jadi setelah ini, aku tak akan bisa menemuimu lagi?” tanyaku lirih.
“Aku bilang, ini adalah malam yang terakhir untukmu di kota ini, Sayang,” bisiknya. “Karena aku akan membawamu pergi dari sini dan kita akan menata sebuah dunia baru, sekalipun berawal dari puing kehancuran hidup kita. Maukah kau?”

Aku seolah salah mendengar. Mataku menangkap sinar di matanya. Ada semacam harapan terbit seperti matahari di celah hatiku yang gelap. Wajahnya begitu dekat merapat. Tatapan matanya semakin membuatku tenggelam, hingga sebuah kecupan mendarat di bibiku yang merah. Dan kami pun bergumul mengarungi malam untuk pertama kali.


sebuah penggalan novel "cinta tak pernah datang padaku"

0 komentar:

Caution : Wajib diklik

Followers

Caution : Wajib diklik