Kamis, 09 Oktober 2008

Kisah di Balik Hujan

“Aku lapar sekali,” serak suaranya terhenti. Lalu dipeluknya lagi Putih dengan lembut. Ia merasakan kehangatan yang menenangkan hatinya saat tubuh mereka beradu. Putih heran, tapi tetap saja mengibas-ngibaskan ekornya dengan riang. Lidahnya terjulur keluar.

“Aku belum sempat memandikanmu. Maaf,” katanya lagi, sedih. Ia sadar bau Putih lebih tajam dari biasanya. Alisnya menurun. Lantas matanya berair. Putih maju selangkah agar pelukan tuannya makin dekat. Musim hujan sudah datang. Saat penduduk kota masih terlelap, Putih dan tuannya bertangis-tangisan di pinggir jalan yang sepi. Meratapi perut mereka yang kelaparan karena tidak diisi seharian. Angin malam yang dingin akhirnya mengantarkan lelap.

Pagi yang kesiangan. Mendung masih menghiasi langit Jakarta. Putih terkejut dan melepaskan dekapan tuannya. Lalu kucing betina itu berlari meninggalkan tuannya. Bulu putihnya yang kusam tertiup angin musim hujan, mengubahnya seperti tumpukan sampah berlari. Jejak-jejak keempat kakinya samar menghunjam jalanan yang basah.

“Putih!” teriak anak lelaki itu seraya berdiri. Ia berlari dan mengejar sahabat karibnya. Tapi mereka terpisah jauh.

“Putih, tunggu! Mau kemana?!” teriaknya mencegah. Tapi, kucing itu lebih cepat larinya. Dan derai hujan yang deras membuat wujudnya menghilang cepat. Bersatu dengan warna alam. Kota masih tertidur pulas. Putih hilang.

Anak itu berjalan tertunduk. Air matanya membeku tak menetes. Si Putih hilang entah kemana. Dia berjalan pelan sambil melihat kanan-kiri. Mungkin dia bisa menemukan Putih di tempat-tempat sampah. Pasti Putih mencari makanan. Dia tahu bahwa Putih selapar dia sekarang. Atau mungkin lebih lapar?!

”Putih….maafkan aku,” gumamnya lirih. Dalam hati, dia merasa kasihan dan berdosa pada si Putih karena belum memberinya makan. Dia sangat sedih terpisah dengan kucing itu.

Anak itu di trotoar beku, hanya beberapa orang saja yang keluar karena penduduk kota lebih memilih mendekam seperti tikus dalam tanah di saat-saat seperti ini. Musim hujan mengubah warna kota.

Anak itu masih berjalan. Tapi yang dicarinya tak terlihat di mana-mana. Selama mencari sahabatnya itu, dia membayangkan hal-hal yang pernah mereka berdua lakukan. Saat mereka makan di antara tumpukan sampah. Atau bermain di lapangan setelah Putih membuat anak-anak lain ketakutan. Padahal anak itu ingin bermain dengan anak-anak lainnya. Tapi mereka menolaknya. Putih menunjukkan kepatuhan dan kesetiaan yang luar biasa pada tuannya. Kucing itu telah menghiburnya selama ini.

Lalu ia teringat juga tentang awal pertemuan mereka di pinggir Sungai Ciliwung tiga tahun lalu. Saat itu dia sedang berjalan-jalan sendirian. Itu terjadi setelah tiga tahun ia menggelandang. Lapar yang membuatnya duduk di atas rumput, sore hari. Seharian ia belum makan, padahal hari akan berganti. Dia ingin menangis dan sedang menangis. Ia ingat orang tuanya yang telah tiada tanpa meninggalkan apa-apa. Lalu, ia merebahkan badan berharap rasa lapar hilang jika matanya terpejam. Hingga ia tertidur dalam pulasnya, bermimpi makan di restoran.

Ia terbangun karena merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak di dekat pinggangnya. Perlahan di bukanya mata, dan melihat kesitu. Seekor anak kucing yang kotor dan berbau. Kucing itu bergerak-gerak mencari sudut terhangat di tubuhnya. Kucing itu pasti kedinginan. Tapi dia merasa jijik dan enggan didekati. Lalu, ia menghindar, mengalihkan tubuhnya ke samping. Tapi kucing itu berdiri tegak dan pandangan mereka beradu.

Mata kucing yang berwarna hijau dan sorotnya yang lugu menyentuh hatinya. Akhirnya anak itu tersenyum melihat anak kucing itu. Ia memungutnya dan memandikannya di sungai. Anak kucing itu sekarang bernama si Putih dan mereka menjadi sahabat karib. Ia selalu bersama Putih mengais sampah-sampah, mencari sesuatu yang bisa di makan. Sampai beberapa saat lalu, kucing itu pergi meninggalkannya.

“Putih!” Ia masih memanggil nama sahabatnya. Langkahnya yang lemah karena belum makan seharian membuatnya bergerak seperti siput. Ia menghela nafas dan duduk di halaman sebuah rumah. Dingin air hujan menembus celananya. “Kau dimana?” gumamnya sedih.

Biasanya saat perutnya lapar, Putih masih bisa diajaknya bermain untuk mengalihkan pikirannya tentang makanan. Mereka akan berlari-lari sepanjang sungai tempat awal pertemuan mereka. Anak itu sedih sekali. Bibirnya yang bergetar bukan karena dinginnya hawa saat itu, melainkan pikiran-pikiran buruknya yang menimpa Putih.

Beberapa menit beristirahat, dia bangun lalu berlari menuju sungai. Barangkali Putih pergi kesana. Bukankah dia belum mandi?

Di pinggir sungai yang airnya mulai meluap karena hujan, anak itu mencari-cari sahabatnya. Di antara semak-semak. Di bawah pohon. Di tong-tong sampah. Namun, Putih tidak ada di mana pun. Letih menyelimuti anak itu dan membuatnya terhempas di atas rumput dingin tertutupi air hujan. Kesepian yang selama ini hilang karena kehadiran Putih datang membayangi lagi. Dia tidak punya teman. Dia tidak punya kenalan seorang pun di bumi ini. Hanya Putih teman satu-satunya. Hingga mereka jadi sahabat.

“Putih, dimana?” Tangisnya pedih. Air matanya menetes ke kaos lusuhnya. Dingin, menyatu dengan alam. Kesendirian benar-benar memeluknya.

Sudah dua hari Putih hilang dan tak pulang. Dan keadaan itu membuat anak lelaki itu bersedih tiap detik, hari yang di laluinya begitu sepi. Mereka sudah begitu dekat. Anak itu duduk di rerumputan dingin. Menangis lagi. Bahunya yang kecil dan kurus bergetar hebat. Matanya juga sudah merah, makin kentara dengan keadaan yang serba legam. Air matanya sudah kering. Tapi, Putih tak juga kembali.

Dua hari yang lalu,

Putih berlari kencang di jalanan berhujan. Lalu, ia berhenti tepat di sebuah toko roti. Perlahan masuk ke dalam saat seorang wanita tua dengan sweater abu-abu keluar dari tempat itu. Putih masuk tanpa membunyikan bel. Beberapa saat kemudian tubuhnya terlempar keluar di iringi sumpah serapah seorang pria berjanggut hitam. Badannya yang tinggi besar pastilah kuat. Putih meringis kesakitan saat tulang punggungnya menghantam badan jalan. Ia segera bangkit dan berlari tertatih-tatih ke seberang toko itu.

Ia duduk menjilat-jilat bagian tubuhnya yang sakit. Sesaat kemudian ia duduk rapi seperti patung. Mungkin mengatur rencana selanjutnya. Saat itu, seorang ibu dengan payung hitam keluar dari toko sambil membawa sebuah keranjang makanan. Pastilah keranjang itu berisi roti-roti hangat yang enak di makan saat musim hujan yang dingin. Wanita itu berjalan sembrono hingga sepatunya menabrak pinggiran trotoar dan menjatuhkan sebuah bungkusan dari dalam keranjangnya. Tapi wanita itu tak sadar, lalu berjalan lagi.

Putih segera menegakkan kepala melihat kejadian itu. Lalu, dengan cepat ia berlari menuju bungkusan yang terjatuh. Tepat di samping tiang telepon. Putih berlari kencang dan berhasil memungut bungkusan harum yang tercium olehnya dari tadi. Tapi Si Pemilik Toko Roti melihat kucing itu berlari dari jendela kaca tokonya. Merasa kalau kucing itu akan masuk lagi, ia keluar sambil membawa tongkat besar. Putih merasakan ancaman. Ia segera berlari sambil membawa bungkusan itu di mulutnya. Si Pemilik Toko mengejar sebentar. Tapi Putih sangat ketakutan. Derap kakinya menghunjam tumpukan air hujan. Ia berlari tanpa arah yang jelas.

Dan saat itu, sebuah truk berbelok dan menghantam tubuhnya yang kurus. Ia terhempas beberapa meter bersama bungkusan masih di mulutnya. Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya menghantam pinggiran trotoar dan kepalanya pecah. Kucing yang malang. Darah segar entah berwarna apa membanjiri jalan.

Sopir truk keluar dari mobilnya dan melihat keadaan kucing itu. Tanpa berkata apa-apa ia melepas topinya. Si Pemilik Toko datang. “Hanya kucing liar,” katanya tanpa merasa berdosa. Dia bergegas kembali ke tokonya, tak peduli.

Sopir itu mengangkat tubuh Putih yang sudah tak bernyawa dan membawanya untuk di kuburkan di tempat lain. Bungkusan roti tertinggal di jalanan dan terlindas kendaraan lain.

Di suatu ruang, di atas toko roti itu. Berdiri seorang gadis kecil, menatap penuh haru dari balik kaca jendela kamarnya. Dia terkurung di kamarnya selama musim hujan. Dia adalah anak pemilik toko roti itu. Dari kamarnya, ia terlalu hafal suasana lingkungan sekitar termasuk kucing dekil itu. Kucing dekil yang biasa berjalan dan bermain dengan anak lelaki gelandangan. Anak lelaki yang tak dia ketahui siapa namanya.

Sore menjelang. Anak lelaki itu sudah berjalan-jalan lagi di trotoar beku. Ia masih berusaha mencari sahabatnya yang hilang. Seruan-seruannya sudah hampir tak kedengaran. Lalu ia berhenti di tempat Putih terkapar dua hari yang lalu. Ia merasa Putih ada di situ. Ia bisa merasakan bahwa sahabatnya ada di sekitar tempat itu. Lalu, air mukanya berubah cerah dan segera mencari-cari di balik semak-semak. Atau di balik tanaman penghias jalanan yang putih. Tapi, lelah ia berputar-putar, Putih tidak tampak juga ujung ekornya.

Anak lelaki itu sempat kesal. Ia menghentak-hentakkan kakinya karena tidak bisa menemukan Putih, teman setianya. Padahal ia sudah bisa merasakan bahwa Putih ada di situ. Tapi, di mana?!

Lalu, ia melihat bungkusan di antara semak. Diambilnya dengan segera karena mungkin itu adalah makanan. Bungkusan itu di perhatikannya dengan teliti, bekas-bekas gigi kucing terlihat di bungkusan itu. Airmatanya menetes, ia sangat sedih. Dia yakin bahwa Putih, kucingnya itu yang meletakkan bungkusan roti tersebut. Perlahan, ia buka dan menggigitnya sedikit. Sesaat kemudian, ia duduk dan melanjutkan makannya dengan lahap. Perutnya yang kosong terisi roti beku. Habis, dan ia terlelap tidur.

Keesokan harinya, tempat itu dikerumuni beberapa orang dewasa. Mereka memancarkan raut wajah sedih. Lalu, beberapa orang dari mereka menggotong tubuh seorang anak kecil yang sudah mengeras. Mereka membawanya ke rumah sakit meski mereka tahu, anak itu sudah tewas.

Hujan turun dengan deras. Dan hidup kembali bergulir seperti hari-hari sebelumnya bagi penghuni sekitar sungai itu. Kisah di balik hujan hari itu perlahan terabaikan dan kemudian dilupakan begitu saja.

Tapi tidak bagi seorang gadis kecil. Gadis kecil yang terkurung di kamarnya selama musim hujan. Kamarnya di lantai dua, di atas toko roti di ujung jalan itu. Toko roti dimana pemiliknya pernah memukul si Putih.

Rasa iba dan bersalah terhadap perbuatan ayahnya yang mengakibatkan kematian kucing dekil itu menggayuti benaknya. Kematian si anak lelaki yang kedinginan dan kelaparan juga tak bisa dilupakannya. Ketakpedulian penduduk di sekitar sungai pada anak lelaki itu juga sangat di sesalkannya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa, karena ia hanyalah seorang gadis kecil.

Setahun setelah itu, gadis kecil itu memilih untuk memberi makan pada anak-anak kecil gelandangan dan kucing-kucing liar dekil yang biasa hidup di jalanan. Hingga ia dewasa, sikap yang sangat berbeda dengan sikap ayahnya. Gadis itu hanya mencoba menginsafi kesalahan ayahnya di hari lalu dengan caranya itu. Dia berharap Tuhan mengampuni perbuatan ayahnya.

0 komentar:

Caution : Wajib diklik

Followers

Caution : Wajib diklik